What’s in a name,
that which we call a rose by any other name would smell as sweet
(Romeo and Juliet)
Apa artinya
sebuah nama? Mawarpun walau disebut dengan nama lain, akan tetap berbau harum, Kata
Shakespeare. Yes indeed, tapi tak semudah itu om Shakespeare. Have you ever
been called by any other name that you find it offensive or not a name to be
fond of? No no no, I don’t mean by your father’s name (I know the feeling, trust
me I lived my school age with that name). Name yang saya maksud di sini, bukan
nama mungkin ya, tapi “panggilan” lebih tepatnya . Sampai sekarang, saya masih
canggung jika dipanggil dengan panggilan “Pak” baik saat pembicaraan langsung
maupun lewat media (telepon, email dan lain-lain), jiwa (masih merasa) muda
saya memberontak, kenapa nggak manggil saya “Mas” ? (Don’t ever think about “Kakak”
unless you are mbak-mbak pramuniaga toko di mall). Nggak tau ya, mungkin saya
merasa belum pantas dipanggil “Pak” (hey I’m on my twenties…….twenty something lah
:D). Beda kasus dengan saya dipanggil dengan hanya “nama” oleh adik-adik kelas
dan junior di kantor, yang umurnya ya di bawah saya, kalo itu saya tidak
keberatan malah. Nggak tau ya, mungkin saya menganggap kalo mereka merasa “dekat”
dengan saya (kepedean) dan tidak perlu memakai embel-embel “Mas” (padahal
karena mereka nggak nganggep saya kali ya hahaha).
Sebenernya, saya
niatnya sih mau nulis tentang “panggilan” (nggak perlu ditambah “cewek” ya di
depannya), tapi bingung bikin paragraph pembukanya gimana hehehhe, jadi
maapkeun kalo paragraph yang di atas itu agak berantakan. So it started as I notice
something interesting on the way my surrounding address each other. Panggilan
itu contohnya “pak” (bapak) “mas” “mbak” “kak” (kakak) “bu” (ibu) dan bahkan “cuk”
(jancuk), serta panggilan panggilan lain. Generally, actually based on my own
opinion (who are you to make such opinion Ru? :P), certain considerations are
made before one decides to address the other.
1.
Gender
Jenis kelamin sangatlah menentukan
panggilan yang akan kita gunakan. Ya iya lah, emang misal situ cowok trus
dipanggil “Bu” mau? (iya iya ada beberapa “cowok” yang mau kok, udah jangan
cemberut ah). Ya emang sih, ada beberapa yang netral, bisa dipake oleh baik
cowok, cewek, cowok setengah cewek, maupun cewek setengah cowok, contohnya “cong”??
:P. kalau menurut gender, panggilan ini ada di hampir semua bahasa, baik “barat”
atau “timur” (you know what I mean). Gender merupakan value pembeda, seperti di
bahasa Inggris ada “sir” “maam” “auntie” “uncle” dan lain lain, bahkan di
bahasa Korea agak lebih kompleks,
panggilan untuk cowok ke cewek, cowok ke cowok, cewek ke cewek, cewek ke cowok
akan berbeda. Kalau di bahasa lain, yang menentukan adalah gender of the addressee,
di bahasa Korea, gender of the addresser is also considered (ciee mentang-mentang gak jadi ke Korea, ngomongnya tentang Korea mulu cie ciceeee.....eerrrrr -___-).
2.
Age, umur
Yap, umur, unlike in the “barat,” orang “timur”
biasanya menambahkan “panggilan” sebelum nama seseorang berdasarkan umurnya. Contohnya
orang Jawa akan memanggil laki-laki yang lebih tua “mas,” dan ini pun
dipengaruhi oleh umur, if one is considerably young, he will be called “mas”
but when the addresser thinks that the addressee is quite as old as his or her
old man (father) he (the addressee) will be called “pak” or maybe “mbah” if he
is as old as a grandfather. Di Negara barat, panggilan seperti ini jaranglah
ada. Mungkin ada, tapi tidak banyak.
Nah, dua
pertimbangan di atas adalah hal pokok yang menentukan penggunaan panggilan
(menurut saya lho….hehehehe, bisa jadi nggak valid) ada beberapa variable (apa dah variable, sok
nih bahasanya -____-“) yang memengaruhi
penggunaannya, sehingga pertimbangan tersebut kadang tidak berlaku. Contohnya adalah:
1.
Closeness/friendliness/intimacy
“Kedekatan” (bukan kedeketan ya, eh
lucu juga ya, kedekatan dan kedeketan, beda satu huruf, artinya jadi beda
hehehehe). Biasanya, jika jarak sosialnya cukup jauh, seseorang akan
menggunakan panggilan yang “menghormati” yang menempatkan si addresser “di
bawah” si addressee. Contohnya gini deh, saya ketemu sama orang baru, belum tau
latar belakangnya, belum tau umurnya, cuma tau jenis kelaminnya (bukan berarti
saya sudah pernah melihat kelaminnya lho ya, tapi kan bisa dibayangkan,...… eerrrr anu maksudnya itu, eh nganu, ah, ya gitulah, -___-) saya akan
menggunakan “mas” atau “mbak” walaupun mungkin umurnya lebih muda dari saya. Dan
kepada yang lebih dekat jarak sosialnya, panggilan nya akan lain, mungkin hanya
memanggil nama, atau bahkan “cuk” “su” (asu = anjing) “ndhes” (gondhes =
gondrong ndheso) dan lain lain yang “terdengar kasar”. Tapi semakin kasar,
menunjukkan bahwa semakin dekat hubungan si addresser dan addressee. Tapi ya
nggak selalu juga, kalo nggak berteman (bermusuhan) atau belum saling kenal,
memanggil “cuk” “su” bisa berarti melecehkan sih. Dan hal seperti ini saya
alami, beberapa adik kelas saya sekolah, kuliah, maupun angkatan di tempat
kerja, (tentu yg umurnya lebih muda) memanggil saya dengan hanya nama, nggak
ada embel-embel panggilan. Oke kalo di tempat kerja sih bisa dimaklumi, because
the “class” is no longer that mater. But, it doesn’t mean that I disapprove them,
not at all, in fact I am glad that (maybe) they think that I am a “close”
friend hehehehehhe. Malah kadang agak awkward kalau orang yang biasa manggil
saya dengan hanya nama, trus memanggil saya dengan “mas.”
2.
Position in the society or in any other
organisational chart
Students (in the test) say position affects
achievement, then in this “naming” case I say position affects your diction. Ya,
posisi dalam strata masyarakat, atau dalam pekerjaan memengaruhi penggunaan
panggilan, affects in a great deal indeed. Ini yang saya amati, seseorang dapat
mengubah cara memanggil orang lain hanya karena posisinya berubah. Contohnya,
si A, dulu adalah bawahan dari si B, therefore si A memanggil si B dengan
panggilan yang “menghormati” such as “pak” atau “bu,” tapi as the time goes by,
si A kemudian berada di posisi yang sama dengan si B, dan saat itu pula si A
mungkin merasa tidak perlu lagi panggilan “menghormati,” thus si A memakai
panggilan yang “less formal,” contohnya hanya memanggil namanya, atau
menggunakan kata ganti “lu” “kamu” despite of the age gap even if the gap is
large. Iya, saya menyaksikan hal tersebut, dan menurut saya menarik, how the
social communication works. Tapi pada beberapa kasus, bisa juga hal ini tidak
terjadi, contohnya jika variable “kedekatan” lebih dominant, maka despite the
age, the social status, the position, kata panggilan yang mereka gunakan tetap
yang “less formal” bahkan “kasar” seperti “cuk” “bro” “su” “ndhes” dan
lain-lain.
Penggunaan kata
panggilan ini will really mater to some people, at certain position, at certain
time. Seperti saya yang terganggu ketika dipanggil “pak” atau bos saya mungkin akan terganggu jika saya panggil “ndhes,” tapi intinya menurut saya adalah “kedekatan.”
Umur, jenis kelamin, status sosial, akan tidak berlaku ketika telah ada sebuah
tingkatan kedekatan tertentu. Mungkin di suatu tempat ada orang yang memanggil
Presiden kita dengan “cuk” “su” tanpa bermaksud melecehkan tentunya dengan
tanpa membuat pak Presiden tersinggung. Dan sebenernya penggunaan panggilan ini
dapat digunakan untuk mencapai tujuan tertentu (sebenernya sih pada dasarnya
memang ada tujuan dibalik semua panggilan), seperti ada temen saya yang sering
menggunakan panggilan “boss” kepada teman yang lain, atau pernah ke ITC kan? Di
sana pasti sering dipanggil “kak”…”kak mampir dulu kak, “kak giordanonya kak” “kak
boleh liat liat dulu kak”….. ya semuanya berusaha menempatkan the addressee in
a position higher than the addresser, thus the addressee will feel the “proud”
and eventually it will be easier for the addresser to impose what he or she
wants.
Oke, I lost my
point, cuman iseng nulis tanpa kerangka ya begini ini hehehhe. pokoknya tetep sehat, tetep semangat, biar tetep bisa baca blog saya hahahahaha.
Salam :)
apik cuk....rodo koplak...
BalasHapussalam cak cuk ndhes...