Selasa, 21 April 2015

Burung Bul-Bul dan Bunga Mawar
Oleh: Oscar Wilde


“Dia bilang, dia baru mau menari denganku kalau aku memberinya bunga mawar merah,” pekik Anak Sekolah itu; “tapi di kebunku, tidak ada mawar yang berwarna merah.”
Dari dalam sarangnya di Pohon Oak di seberang sungai, Burung Bul-Bul mendengarnya, dan di antara rimbun dedaunan dia memerhatikannya, dengan rasa ingin tahu.
“Tidak ada mawar merah di kebunku!” Anak Sekolah itu memekau, dan matanya yang indah dipenuhi air mata. “Ah kawan, betapa kebahagian itu bergantung pada hal-hal kecil! Aku sudah membaca semua tulisan orang-orang bijak, dan semua rahasia filsafat aku pun tahu, namun betapa keinginan untuk setangkai mawar merah ini bisa merusak hidupku.”
“Akhirnya, seseorang dengan cinta yang tulus,” kata Burung Bul-Bul. “Setiap malam aku nyanyikan pujian untuknya, walaupun aku tak mengenalnya; setiap malam kisahnya kuceritakan kepada bintang-bintang, dan sekarang aku telah menemukannya. Rambutnya sepekat bunga Hyacinthus orientalis yang sedang merekah, dan bibirnya merah seumpama mawar yang diidamkannya; tapi, nafsu membuat wajahnya sepucat gading, dan nestapa terukir di dahinya.
“Pangeran akan berpesta besok malam,” sungut Anak Sekolah itu, “dan gadis impianku akan datang. Jika aku bawakan dia mawar merah, dia akan mau menari denganku hingga fajar. Jika aku bawakan dia mawar merah, aku akan dapat memeluknya, dan bersandarlah kepalanya di pundakku, dan tangannya akan saling bertautan dengan tanganku. Tapi, tidak ada mawar merah di kebunku, maka aku akan duduk di sana kesepian, dia akan melewatiku. Dan dia tidak akan mengindahkanku, dan aku pasti akan patah hati.”
“Dia adalah seorang dengan cinta yang tulus,” kata Burung Bul-Bul. “Yang selama ini aku nyanyikan adalah penderitaannya – bahagia untukku, nestapa untuknya. Cinta adalah hal yang mengagumkan. Lebih berharga dari batu zamrud, lebih indah dari batu opal. Mutiara dan delima tidak dapat membelinya, Cinta tidak dijual di pasar. Cinta tidak bisa dibeli, bahkan tidak dapat dinilai dengan emas sekalipun.”
“Para pemusik akan duduk di galeri,” Anak Sekolah itu berkata, “dan akan memainkan alat musiknya yang bersenar, dan gadis pujaanku akan menari diiringi suara harpa dan biola. Menarilah dia dengan ringan hingga kakinya melayang, dan seisi istana dengan pakaian berwarna-warni akan mengerubutinya. Tapi denganku dia tidak mau menari, karena aku tidak membawakannya mawar merah”; lalu dia menjatuhkan diri ke rumput, dan membenamkan mukanya kedalam kedua telapak tangannya, dan dia menangis.
“Kenapa dia menangis?” tanya Kadal Hijau kecil, ketika dia, dengan buntutnya yang melambai-lambai, berlari melewatinya.
“Iya, kenapa?” kata seekor Kupu-Kupu, yang sedang terbang di bawah sinar matahari.
“Iya, kenapa?” bisik bunga Daisy kepada setangganya, dengan suara yang lembut dan pelan.
“Dia menangis karena sekuntum mawar merah,” kata Burung Bul-Bul
“Karena mawar merah?” mereka berseru; “betapa konyolnya!” dan Kadal kecil, yang suka mengolok, tergelak seketika.
Namun Burung Bul-Bul memahami rahasia nestapa sang Anak Sekolah, dan dia diam bertengger di pohon oak, sembari merenungi misteri Cinta.
Seketika dia merentangkan sayap coklatnya kemudian terbang, dan membumbung tinggi ke udara. Dia terbang di atas belukar bagai bayang-bayang, dan seperti bayang-bayang pula dia melayang membelah kebun.  
Di tengah rerumputan, tumbuh sebuah Pohon Mawar yang cantik, dan ketika dia melihatnya, dia terbang mendatanginya.
“Berikan aku mawar merah,” pekiknya, “dan aku akan menyanyikan untukmu bait yang terindah.”
Tapi Pohon itu menggeleng.
“Mawarku berwarna putih,” jawabnya; “seputih buih di samudera, dan lebih putih dari salju di puncak gunung. Tapi, pergilah ke tempat saudaraku yang tumbuh di sekeliling jam matahari, mungkin dia akan memberikan apa yang engkau inginkan.”
Kemudian Burung Bul-Bul melayang mendatangi Pohon Mawar yang tumbuh di sekeliling jam matahari.
“Berikan aku mawar merah,” pekiknya, “dan aku akan menyanyikan untukmu bait yang terindah.”
Namun Pohon itu menggeleng.
“Mawarku berwarna kuning,” jawabnya; “sekuning rambut putri duyung yang duduk di singgasana batu amber, dan lebih kuning dari bunga daffodil yang tumbuh di padang rumput sebelum pemotong rumput datang dengan sabitnya. Tapi, datanglah ke tempat saudaraku yang tumbuh di bawah jendela Anak Sekolah, mungkin dia akan memberi apa yang engkau inginkan.”
Lalu Burung Bul-Bul terbang mendatangi Pohon Mawar yang tumbuh di bawah jendela Anak Sekolah.
“Berikan aku mawar merah,” pekiknya, “dan aku akan menyanyikan untukmu bait yang terindah.”
Namun Pohon itu menggeleng.
“Mawarku berwarna merah,” jawabnya, “semerah kaki merpati, dan lebih merah dari karang kipas yang melambai-lambai di gua dasar lautan. Tapi, musim dingin telah membekukan nadiku, dan embun beku merusak kuncup bungaku, dan badai telah mematahkan tangkaiku, dan aku tidak punya mawar barang sekuntum sepanjang tahun ini.”
“Yang kupinta hanya sekuntum mawar merah,” seru Burung Bul-Bul, “hanya sekuntum mawar merah! Apakah tidak ada cara lain agar aku bisa mendapatkannya?”
“Ada satu cara,” jawab Pohon itu; “tapi cara ini sangatlah buruk sampai mengatakan kepadamu pun aku tak sanggup.”
“Katakan padaku,” kata Burung Bul-Bul, “aku tidak takut.”
“Jika engkau menginginkan sekuntum mawar merah,” kata Pohon itu, “engkau harus menciptakannya dengan nyanyian di bawah sinar rembulan, dan lumuri dengan darah dari jantungmu. Engkau harus bernyanyi untukku sambil menacapkan dadamu ke duriku. Sepanjang malam engkau harus tetap bernyanyi, dan duri itu harus menembus jantungmu, dan darahmu harus mengalir ke dalam nadiku dan menjadikannya milikku.”
“Kematian adalah harga yang pantas untuk sekuntum mawar merah,” kata Burung Bul-Bul, “dan Kehidupan ini sangat bernilai untuk semua kita. Sangatlah menyenangkan duduk di dalam hutan yang hijau, dan melihat Matahari bertengger di atas kereta keemasannya, dan Bulan di atas kereta mutiaranya. Aroma semak-semak yang wangi, aroma wangi bunga bluebell yang bersembunyi di lembah, dan bunga heather yang bermekaran di atas bukit. Tapi Cinta lebih baik daripada Kehidupan, dan apalah arti jantung seekor burung dibanding hati seorang manusia?”
Dan lalu dia membentangkan sayapnya dan terbang membumbung tinggi ke udara. Dia melayang di atas kebun itu seperti bayang-bayang, dan seperti bayang-bayang dia mengitari semak belukar.
Anak Sekolah itu masih terbaring di rerumputan, di mana tadi Burung Bul-Bul meninggalkannya, dan air mata di pelupuk mata indahnya belumlah kering.
“Bergembiralah,” seru Burung Bul-Bul, “bergembiralah; engkau akan mendapatkan mawar merahmu. Aku akan menciptakannya dari nyanyian di bawah sinar rembulan, dan melumurinya dengan darah dari jantungku sendiri. Yang aku inginkan darimu hanyalah agar kau tetap menjadi pecinta yang tulus, karena Cinta itu lebih bijaksana dari Filsafat, meski dia bijak, dan lebih kuat dari Kekuatan, meski dia kuat. Sayapnya berwarna bagai api, dan tubuhnya berwarna serupa api. Bibirnya semanis madu, dan nafasnya seharum kemenyan.”
Anak Sekolah itu menengadah, dan mendengarkan, namun dia tidak dapat memahami apa yang dikatakan Burung Bul-Bul kepadanya, karena dia hanya mengetahui hal-hal yang tertulis di buku.
Tapi Pohon Oak itu mengerti, dan bersedih, karena dia sangat menyukai Burung Bul-Bul kecil yang membangun sarang di cabangnya itu.
“Nyanyikan aku sebuah lagu untuk terakhir kali,” bisiknya; “aku akan merasa kesepian jika nanti engkau telah pergi.”
Lalu Burung Bul-Bul bernyanyi untuk Pohon Oak, suaranya terdengar seperti gelembung air yang keluar dari buli-buli perak.
Setelah dia selesai bernyanyi, sang Anak Sekolah bangkit dan mengambil buku catatan kecil dan pinsil arang dari dalam sakunya.
“Dia punya wujud yang indah,” katanya pada diri sendiri, seraya berjalan menembus belukar – “itu tak dapat dipungkiri; tapi apakah dia punya perasaan? Aku kira tidak. Bahkan, dia mirip seperti seniman kebanyakan; hanya gaya yang dia miliki, tanpa ada ketulusan. Dia tidak akan bersedia untuk mengorbankan dirinya untuk orang lain. Dia hanya berpikir tentang musik, dan semua orang pun tahu kalau seni itu egois. Namun tetap saja, harus diakui kalau dia memiliki nada yang indah dalam suaranya. Sayang sekali semua itu tidak memiliki arti, pun tidak berguna.” Dan dia pergi ke kamarnya, dan berbaring di atas kasur jerami kecilnya, dan mulai memikirkan tentang pujaan hatinya; dan, setelah beberapa saat, dia tertidur.
Ketika Bulan bersinar dari surga, Burung Bul-Bul pun terbang menuju Pohon Mawar, dan kemudian menancapkan dadanya ke durinya. Sepanjang malam dia bernyanyi dengan dada yang menancap di duri, Bulan yang dingin dan bening bersandar dan mendengarkan. Sepanjang malam dia bernyanyi, dan duri itu menusuk dadanya semakin dalam dan semakin dalam, dan darah-kehidupannya semakin surut meninggalkannya.
Pertama dia bernyanyi mengenai berseminya cinta dalam hati seorang anak laki-laki dan perempuan. Dan dari kuntum tertinggi dari Pohon Mawar itu bersemilah mawar yang mengagumkan, kelopak demi kelopak, lagu demi lagu. Pucat, awalnya, seperti kabut yang bergelayut di atas sungai – pucat seperti kaki pagi, dan keperakan seperti sayap fajar. Seperti bayangan bunga mawar dalam cermin perak, seperti bayangan bunga mawar dalam air kolam, seperti itulah bunga mawar yang mekar dan bersemi di kuntum paling atas dari Pohon Mawar itu.
Tapi Pohon itu berseru kepada Burung Bul-Bul untuk menekan lebih kuat. “Tekan lebih kuat, Bul-Bul kecil,” kata Pohon, “atau Fajar akan menyingsing sebelum bunga mawar ini selesai.”
Lalu Burung Bul-Bul menekankan dadanya lebih dalam ke arah duri, dan nyanyiannya pun semakin keras dan semakin keras, karena dia bernyanyi tentang berseminya gairah dalam jiwa seorang pria dan seorang gadis.
Dan warna merah muda samar-samar merona membasahi kelopak daun bunga mawar, merona seperti muka mempelai pria ketika dia mengecup bibir mempelai wanita. Namun duri itu belum menusuk jantungnya, sehingga jantung bunga mawar masih tetap berwarna putih, karena hanya darah dari jantung Burung Bul-Bul lah yang dapat memerahkan jantung sang bunga mawar.
Dan sang Pohon berteriak kepada Burung Bul-Bul agar menekan lebih lebih kuat lagi. “Tekan lebih kuat lagi, Bul-Bul kecil,” teriak Pohon, “atau Fajar akan menyingsing sebelum mawar ini selesai.”
Kemudian Burung Bul-Bul menekankan dadanya lebih dalam hingga duri menyentuh jantungnya, dan rasa sakit yang tiba-tiba lalu menyengatnya. Getir, getirnya penderitaan, dan semakin liar nyanyiannya, karena dia bernyanyi tentang Cinta yang disempurnakan oleh Kematian, tentang cinta yang mati bukan di pusara.
Dan bunga mawar yang mengagumkan itu menjadi sangat merah, seperti mawar dari langit rimur. Merah sangat kelopaknya, dan merah sangat laksana ruby hatinya.
Namun suara Burung Bul-Bul semakin melemah, dan sayap kecilnya terkepak, dan selaput tipis membungkus matanya. Semakin lemah nyanyiannya, dan dia merasakan ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokkanya.
Lalu nyanyian terakhirnya pun pecah. Bulan pucat mendengarnya, hingga dia lupa akan fajar, dan tetap bergantung di langit. Mawar merah itu pun mendengarnya, dan dia menggigil karena suka-cita, dan membukakan kelopaknya untuk udara pagi yang dingin. Gema merambat ke dalam gua ungunya di atas bukit, dan membangunkan gembala dari mimpinya. Mengapung-apung menembus alang-alang di sungai, dan membawa pesan kepada samudera.
“Lihat, lihat!” pekik Pohon, “bunga mawarnya telah selesai;” tapi Burung Bul-Bul tidak menjawabnya, karena dia telah tergolek mati di rerumputan yang tinggi, dengan duri yang menancap di jantungnya.
Dan siang itu, Anak Sekolah membuka jendelanya dan melongok ke luar.
“Mengapa, sungguh kebetulan yang hebat!” teriaknya; “mawar merah ini, tidak pernah aku melihat mawar seperti ini sepanjang hidupku. Sungguh sangat indah, aku yakin dia punya nama Latin yang panjang”; dia merunduk dan memetiknya.
Kemudian dia memakai topinya, dan berlari ke rumah sang Professor dengan sekuntum mawar di tangannya.
Anak perempuan sang Professor sedang duduk di depan pintu memintal sutra biru, dan anjing kecilnya sedang berbaring di dekat kakinya.
“Engkau bilang akan menari denganku jika aku membawakanmu mawar merah,” kata Anak Sekolah. “Ini mawar yang paling merah di seluruh dunia. Kamu akan memakainya di dekat hati mu, dan ketika kita menari bersama, dia akan berkata betapa aku mencintaimu.”
Namun gadis itu mengerutkan wajahnya.
“Sepertinya itu tidak cocok dengan warna gaunku,” jawabnya; “dan selain itu, keponakan Chamberlain telah mengirimkan kepadaku beberapa permata, dan semua orang tahu bahwa permata lebih berharga daripada sekuntum bunga.”
“Tak ku sangka, ternyata engkau sangat tak tahu terimakasih,” kata sang Anak Sekolah dengan marah; dan dia melemparkan mawar merah itu ke jalan, yang kemudian jatuh ke comberan, dan terlindas roda kereta.  
“Tak tahu terimakasih!” kata gadis itu. “dengar, kamu sangat kasar; dan, lagipula, siapa kamu? Hanya seorang Anak Sekolahan. Aku bahkan ragu kalau engkau punya gesper perak seperti yang dimiliki keponakan Chamberlain”; dan dia beranjak dari tempat duduknya dan kemudian masuk ke dalam rumah.
“Sungguh Cinta itu sesuatu yang sangat bodoh,” kata Anak Sekolah itu sambil berlalu. “Dia tidak berguna, tidak setengahnya dari Logika, karena dia tidak membuktikan sesuatu, dan dia selalu berkata tentang sesuatu yang tidak pernah akan terjadi, dan membuat orang percaya hal-hal yang tidak benar. Bahkan sebenarnya, Cinta itu tidak praktis, dan, di jaman ini, kepraktisan adalah segalanya, rasanya aku akan kembali lagi ke Filsafat dan belajar Metafisik.”

Kemudian dia kembali ke dalam kamarnya dan mengambil sebuah buku besar yang berdebu, dan mulai membacanya.
----
Dialihbahasakan oleh Haru
April 2015

Tidak ada komentar:

Posting Komentar