Senin, 20 April 2015

Ye eN We A'

Sejak awal dekade 90an, suporter Liverpool Football Club (LFC) seperti dipaksa menghayati bait pertama lagu kebangsaan mereka. Lagu yang ngajarin mereka tetap “mengangkat kepala” di tengah badai sambil menangis berharap akan menemukan pelangi di akhir perjalanannya. Dalam perjalanannya, para supporter LFC pun sempat kembali bersemangat dan percaya bahwa mereka telah sampai pada cahaya yang dijanjikan dalam lagu itu, “the golden sky and the sweet silver song of the lark,” – munculnya pemain yang menjanjikan (Gerrard, Owen, Torres, dll), menjuarai tropi FA, UEFA, European Super Cup, dan yang paling legendaris adalah Liga Champion 2005. Tapi alih-alih memasuki lagi masa keemasannya, LFC malah kembali medioker. Hih PHP!

Dulu, mungkin kita masih bisa menepuk dada duo serigala dengan jemawa bahwasanya LFC masih memegang rekor sebagai pemegang tropi Liga Inggris terbanyak, 19 buah. Tapi sejak negara api menyerang  klub-yang-punya-tetangga-yang-katanya-berisik itu melewati raihan tropi LFC, dada siapa yang harus kita tepuk? Paling sekarang senjata kita hanyalah “we won it five times” yang membosankan terkenal itu. Dan dengan kegagalan LFC meraih tiket Liga Champions, bukan tidak mungkin rekor itu bakal dilewati, cepat atau lambat. Lagian sih bangga we won it five times, harusnya sih lebih bangga we sholat five times. Betul? (red: baca dengan suara AA Gym).

Sekarang, beberapa Senin kita dikacaukan oleh LFC. Di kantor, di sekolah, di pasar, di tempat gosok akik, suporter LFC harus menahan perihnya pertanyaan yang sebenernya si penanya itu pun tidak butuh jawaban; “Piye Liverpul?.” Responnya gimana? Ya banyak, tergantung mz mz semua sukanya gimana, gak jawab tapi cemberut dan misuh dalam hati boleh, dijawab sekenanya sambil melengos terus pergi ya boleh, diselesaikan dengan main PS ya gapapa, apa mau diselesaikan di senayan juga monggo (tapi twitwar dulu). Namun, sebagai insan yang mengimplementasikan nilai-nilai keliverpulan yang luhur, saya mau usul salah satu cara menjawabnya. Yaitu dengan YNWA... ya Ye eN We A..... alias Yo Ndhes Wasyuog, Andaikan....... “Andaikan” memang kata yang mujarab, bisa buat ngeles dengan tidak terlihat rendah diri. “Andaikan” mengisyaratkan bahwa kita tahu lebih tentang pertandingan LFC, bahwa kita tahu apa yang salah dengan LFC, dan bahwa kita kelihatan tadi malem nonton pertandingannya walaupun sebenernya cuman nonton extended highlights-nya di goalsarena atau footyroom. Nah setelah kata “andaikan” itu boleh diisi dengan beberapa alternatif di bawah ini.

Pertanyaan musim lalu: “Piye Liverpul, gak sido juara?”

Alternatif jawaban:

“Yo Ndhes, Wasyuog, Andaikan Gerrard ora Kepleset”


Ya, insiden yang terjadi saat melawan klub-yang-katanya-punya-sejarah-tapi-supporternya-sampai-harus-disiapin-bendera-plastik-dan-yang-nyuruh-staff-nya-mengibarkan-banner-saat-pertandingan ini memberikan gelar Slippy G kepada Stevie G dan merupakan highlight dari musim lalu – bahkan lebih diingat daripada penampilan fantastis Suarez.

atau “Yo Ndhes Wasyuog, Andaikan pas kae Kolo Toure ora salah umpan ke Anichebe”

Anichebe gak ada hubungannya sama Anisa Chibi lho (suog, garing). Menit ke 66, LFC mempimpin 1 gol atas West Bromwich Albion, tidak tau Toure kesurupan apaan atau dia susah melihat Aly Cissokho karena gelap tiba-tiba dia memberikan umpan diagonal langsung kepada Anichebe. Dan Jebret! Ilang 2 poin LFC. Ya walaupun kalau menang juga poin akhirnya sama dengan tetangganya- klub-yang-punya-tetangga-yang-katanya-berisik sih, tapi kita masih bisa menambah daftar kambing hitam dengan kata
“.... opo meneh andaikan Allen ngegolke lawan klub-yang-tujuannya-berada-di-atas-peringkat-LFC”
Dan kita dapat tambahan 2 poin lagi, sehingga alibi kita makin kuat bahwa andaikan Toure dan Allen tidak blunder, LFC bisa juara. Tapi ya itu.... andaikan....

Pertanyaan musim ini: “Piye, Liverpul kalah (meneh)?”

Alternatif jawaban:

“Yo Ndhes, Wasyuog, Andaikan Markovic umpane bener terus Sterling iso ngegolke”

Versi andaikan ini adalah ketika LFC melawat ke Emirates Stadium. Tapi seandainya Sterling bisa menjangkau umpan Marko, apa iya LFC jadi gak kalah? Yo mbuh...seng penting alesan dhisik!

“Yo Ndhes, Wasyuog, Andaikan wasite ora picek!”

Ya ini alasan paling gampang. Menyalahkan wasit. Ada beberapa insiden meragukan yang apabila wasit jeli, keputusannya tidak akan bias ke tim lawan LFC. Seperti pas gol offside nya klub-yang-punya-tetangga-yang-katanya-berisik, atau yang paling mutakhir yaitu ketika malam tadi striker ter-sangar LFC gagal mengantarkan koran eh gagal menjadi pahlawan karena gol-nya dianulir padahal nggak offside. Wasite dibayar og....... yo mesti, mosok gratisan mz.

Begitulah tips and trik dari saya, tentunya anda bisa lebih kreatif lagi menambahkan alibi lain sesuai dengan kebutuhan, atau bahkan mengganti kata “wasyuog” dengan kata lain, “wuasyem” contohnya. Selamat menerapkan tips dan trik ini, semoga kita semua menjadi kaum yang menerapkan nila-nilai keliverpulan dengan khidmat dan konsisten.

Salam Ye eN We A’ – Yo Ndhes, Wasyuog, Andaikan pelatihe dudu Rojers #eh





Senin, 23 Maret 2015

He lost the footing…. and his head

“He lost his head, and launched it into Materazzi’s chest”

You know what I am talking about; an infamous incident in the final night of 2006 World Cup. A legend finished his time in such a way nobody will ever forget. In a final of the most prestigious tournament in the world, Zidane finished the game, and also his playing career, by headbutting the chest of Materazzi. Latter he revealed that the reason of his outrageous act is Materazzi insulted his mother and sister. In the end, France lost to Italy on Penalties. The story might have ended differently had Zidane not lost his temper.

the infamous headbutt

Zidane leaving the pitch, the cup, and the career
Last night, in a match ordained as the derby with most cards in England, a legend, to his people at least, was supposed to play his 33 derbies in a worth-remembered-manner. In fact, his last derby is worth-remembered, but not in the manner every Kopite would ever imagine, in the wildest even. His presence in the end of the tunnel at the beginning of the second half, with the captain armband, raised hope of every Kopite at Anfield that night. With the team trailing by a goal, against the fiercest rival, the charisma of a captain is surely an oasis in the middle of a dessert. But, nobody, even the supporter at the other end, expected what happened next. Gerrard’s time in the field lasted just 40 seconds short. A red card for intentionally stepping on the right leg of Ander Herrera ended his supposedly last North West Derby. Kopites can say it was harsh decision, that the referee got it wrong, that it was unfair, but at the end of the day we can all agree that such challenge has no place in football, and always will produce red card, except if it was Diego Costa, maybe.

the stomp that stop his shortcoming

you're out!!!
Zidane’s conduct may be unacceptable to some, but there are people who understand and defend him. Zidane stood for the honor of his mother and sister. He took the possible worst punishment as a professional because he believed that nobody should disparage his mother and sister; a belief that most people would agree on. He maybe lost his chance to hold the highest team prize a football player could achieve, but he sure not lost respect for the principle he hold. The Coup de tĂȘte statue initially erected in Centre Pompidou, France is the obvious proof.

Coup de tĂȘte

Gerrard reaction, in the other hand, was, according to his former team mate Carragher, result of his frustration. Frustration of seeing the team trailing, frustration of losing the automatic place in the squad, and  maybe frustration over the fact that he will end his last season mostly in the bench. That was very human, but that doesn’t make his conduct less unacceptable. For a player of his caliber, in the game of that importance, he should know how much the stake was put.

Unlike Zidane, Gerrard has time make up for his mistakes, to save his magnificent career as a redman. That match maybe was his last North-West Derby, but hopefully that was not his last match with LFC. And by then his professional career ends, whether in USA or in England, I hope we can see the statue of Gerrard stand, not the statue of his stomping Herrera, but the statue of one of his greatest time in LFC.

Zidane maybe threw his head into Matterazi’s chest, but he sure doesn’t lost his head; Gerrard maybe only lost his footing, but he sure lost his head   


Jumat, 13 Februari 2015

Hiro

Kamis, 12 Februari 2015, 22.18 WIB

Malam itu, seperti malam yang biasanya, aku menonton siaran ulang sepakbola di televisi dan istriku sibuk meninabobokkan anakku yang belakangan ini suka tidur sangat larut. Hingga sebuah ketukan pelan terdengar, diikuti pintu kamar yang membuka sedikit. “Mbak…eeemmm” suara pengasuh anakku terdengar agak bergetar. “Ada apa…” Tanya istriku sambil tetap memeluk anakku yang hampir tertidur. “Mbak…saya mau ijin pulang….adik saya mbak..kecelakaan…” suara pengasuh anakku tercekat. “Dia meninggal mbak….” kemudian tangispun meledak.

Aku dan istriku langsung beranjak dari tempat tidur, anakku bahkan ikut terbangun. Berita ini begitu mendadak, di tengah malam begini. “Aku tadi marahin dia, nyuruh dia pulang mbak…karena bapak lagi sakit… aku yang nyuruh mbak…” ratap pengasuh anakku sambil tersedu. Aku terduduk gemetar di tepi tempat tidur. Ini adalah sebuah keadaan yang sangat aku benci, sesuatu yang mendadak, datang tiba-tiba. Bibirku bergetar, mata dan pipi terasa hangat, aku bisa merasakan betapa besar sesal yang dirasakan oleh pengasuh anakku itu. Sementara istriku masih menenangkan mbak pengasuh anakku – dan juga anakku yang ikut terbangun -, aku beranjak dari tempat tidur, tiba-tiba aku ingin cuci muka. Di dalam kamar mandi aku terduduk, rongga dadaku terasa menciut, sangat sesak. Sudah 10 menit aku ada di dalam kamar mandi, aku pun segera membasuh muka, kemudian menyekanya dengan handuk yang masih menggantung di cantelan baju. Aku keluar dari kamar mandi, ruang tengah terlihat gelap, rupanya lampu sudah dimatikan. Aku buka pintu kamar, terlihat istriku tertidur lelap, wajahnya terlihat lelah, di sampingnya, anakku pun sudah tertidur dengan tengkurap – posisi favoritnya – dengan dot yang masih menempel di mulutnya. Aku pun merebahkan badanku di kasur, menarik selimut, dan kemudian melanjutkan menonton siaran ulang Piala Asia 2014, kedudukan 2 -2 antara Irak dan UAE. Suasana sangat tenang, seperti biasanya, seperti malam kemarin, dan malam-malam sebelumnya. Tidak ada hal besar yang terjadi.

Kamis, 12 Februari 2015, 14.27 WIB

“Lho mas kok di rumah…” Tanya pengasuh anakku ketika melihatku keluar dari kamar mandi. “Iya…” jawabku singkat. “Tapi saya nggak liat mas masuk rumah….” Tanya pengasuh anakku; penasaran. “Iya mbak… nggak usah dipikirin… saya mau ngomong dikit sama mbak…” jelasku.

“Mbak…bapak kamu sakit, tapi sudah pulang dari rumah sakit, dia nggak mau bikin khawatir mbak makanya dia nggak bilang sama mbak…juga sama adik mbak…”
 “lho mas…tapi……”
“sik tho mbak….tak ngomong dulu….. nanti orang rumah bakal ngabari mbak…. Pesen saya mbak, jangan suruh adik mbak yang lagi kuliah buat pulang ke rumah …. Pokoknya jangan mbak….. biarin dia di kosannya dulu, nanti weekend bisa pulang…tapi jangan sekarang ya mbak…. Inget lho…. Ini penting mbak”
“tapi mas….nganu…. kok…”
“wis tho mbak…. Percaya sama aku yo…. Inget… jangan marahin adikmu, jangan suruh adikmu pulang malam ini….. yo!”

Mbak pengasuh anakku terlihat bingung, namun dia terdiam walaupun terlihat bahwa dia ingin sekali bertanya.
Aku bergegas; setelah melongok sebentar ke dalam kamar untuk melihat anakku yang sedang tidur siang, aku kemudian kembali masuk ke dalam kamar mandi.

Kamis, 12 Februari 2015, 22.48 WIB

“Pah… gimana ni, kita cari penerbangan yang paling pagi kali ya….” Suara istriku terdengar dari arah dapur. Aku terjaga dari lamunanku. “Iya mah, ntar aku cari di traveloka…..” jawabku sambil meraih handuk dan menyeka mukaku. Aku keluar dari kamar mandi, di ruang tengah, anakku sedang duduk sambil bermain dengan buku kesukaannya, istriku masih merangkul mbak pengasuh anakku yang menunduk sambil sesekali menyeka matanya yang basah.

“Ah…andai aku ini Hiro, si penjelajah waktu…”


Selasa, 23 Desember 2014

Indonesia Haibat

Nuwun sewu, perkenalkan namaku Paijo. Dari bahasa dan namaku, pasti njenengan sudah tau tho kalau aku itu orang desa dan asal nya dari Jawa Tengah, atau yang sering njenengan orang Ibu Kota sebut sebagai Jawa. Padahal yo orang Jakarta itu secara geografis yo sama, orang Jawa juga, tapi yo wis ben, kan njenengan lebih berpendidikan dari aku. Aku ini baru datang dari kampung ke Jakarta. Ternyata kata orang-orang kampung kalau Indonesia sudah maju itu bener…..yo paling tidak Jakarta. Lha iya tho, Jakarta kan Ibu Kota Indonesia; kalo ibarat rumah yo ruang tamune Indonesia. Ruang tamu itu kan kudu apik, kudu bagus, ben ndhak keliatan saru dilihat orang luar, masalah dapurnya kotor sih ya urusan nanti.

Indonesia itu pembangunannya sudah maju. Coba lihat di Jakarta ini, bangunannya sudah bagus bagus; tinggi-tinggi, megah-megah. Orang-orang yang ada di gedung gedung itu juga nggantheng dan ayu ayu. Mereka itu orang yang sibuk sekali, jalannya cepet-cepet, naik kendaraan pun cepet-cepet sampe ndhak punya waktu berhenti di lampu merah. Lha nek berhenti di lampu merah sing suwine ngono, ntar telat masuk kantor; nek telat masuk kantor ngko kerjanya terhambat, ndhak produktif kalo kata mereka; nek ndhak produktif, kantornya rugi; nek kantor rugi, bisa tutup kantornya; nek kantor nanti banyak yang tutup , perekonomian negara runtuh; yo nanti akibatnya ditanggung kita-kita semua. Lha opo ora penting  kuwi. Hebat tenan orang orang Jakarta ini. Di Jakarta itu banyak orang kaya, banyak orang punya kendaraan uapik uapik. Makane aku ke Jakarta. Aku kepengen kaya mereka itu, bisa kerja pake pakeyan rapi, pake dasi, naiknya mobil. Wuah, mbois to!

Di Indonesia, kemerdekaan iku hak setiap orang. Aku lihat di Jakarta ini ya, orang itu bebas banget mau ngapa ngapain. Lho coba lihat, buang sampah bebas di mana mana; mau ngerokok juga terserah di mana saja; nyeberang jalan yo sekarepmu. Bebas merdeka to? Wong wong sing setiap Agustus sukanya nanya, “Apakah Indonesia sudah merdeka?” Iku wis jelas gak pernah hidup di Jakarta.


Wis tho, Indonesia, diwakili Jakarta, itu sudah sangat maju dan berbudaya. 

Selasa, 16 Desember 2014

Juice a Review

 


Stop it, I know what you’re thinking, and I was thinking the same when I first saw it at a grocery store. But, unfortunately, no,  it is not the infamous mangosteen peels, it is a mangosteen juice.  Without further thinking, I asked my wife to buy it for the sake of trying the taste of mangosteen juice. Never in my wildest imagination that somebody would put mangosteen in a blender and squeeze the juice out of it.


But then, it let me down. It tasted nowhere near how a mangosteen tastes. It was more like lychee but with a bit of bitter flavor. Actually, mangosteen does taste a bit bitter, but this just somehow failed to bring out that mangosteen-esque flavor. Is it juice me or that this really is a mangosteen peels juice? But the bottle says it is a mangosteen juice! Ah it is not always "what juicy is what you got," is it? 

*Haru, would you please stop making that pun!

Selasa, 09 Desember 2014

CCC (Childhood Celebrity Crush)

This week themes for “Arisan Blog” can be predictable for me. With “first celebrity crush” as the current theme, my friends could name several celebrities that I would write for this blog, from Im Yoona to Beby JKT48.  They are not wrong, but also, at the same time, not right. My celebrity crush could be dated back when I was still elementary school kid. As a television-addict kid, falling into a celebrity charm was my everyday risk. Luckily, at that time, there were many programs for kids and consequently there were also many kid actors and actresses. Therefore, I didn’t look up to far older celebrity as my idol, or you can say “crush,” thankfully. Most of my celebrity crushes were, more or less, at my age.

Enno Lerian

This little girl was captivating for her sweet and cute smile. Her notable songs among others were “Si Nyamuk Nakal”  and “Dakocan.” But my adoration stopped when I knew that she got pregnant. 
Teenager Enno
Mommy Enno


Erina GD

Erina Gracesita Dharmawan. There, I even remember her full name without “googling” for it. She was one of “4 MC Cilik” members. The music video of that 4 MC Cilik was usually came up in a show for kids called Tralala Trilili. I waited for it every afternoon to see her. And at Saturday afternoon, I always watched Pesta Ceria, a kid show in which Erina was one of the MCs. Once I was very pissed because I could not watch the show for my TV was broken. Hehehe. As Erina getting older and older, her stars in showbiz world dimmed. And now she is a married woman with a kid.
Here's Erina with her fellows MC Cilik, Erina is the one on the right side.
Erina is palying in one of that Sinetorn Naga Terbang 


Agnes Monica


Who doesn’t know her? This go-international girl is a big hit. Her voice, her moves, and her dedication are second to none. But I like her more when she were still a cute little girl in ponytails. 


Lil' cute Agnes
the go-international Agnes
Actually, the list I gave you just now is a bit of a mainstream. Those three could easily go into a list of idols for most of 90's kids. 

Oh, one funny thing is that when I was browsing their name for this post, I run into this link, in which it included all those three names in a quite interesting article.


Senin, 01 Desember 2014

Shit Happens…and when you are ndlomor, triple shits may happen

Jumat pagi itu, saya kudu cekat-ceket. Selain menyiapkan keperluan ke kantor, saya juga harus ngepak tas dan bungkusan untuk perjalanan nanti malam. Rencananya, nanti sore selepas jam kantor saya akan langsung naik kereta senja tujuan Semarang karena di hari Sabtu-nya saya diundang untuk hadir di pernikahan teman. Tas dan semua perlengkapan siap, dan saya pun berangkat ke kantor yang cuma berjarak sekitar 10 menit jalan kaki dari kosan. Setelah di kantor, baru sadar, ada satu bungkusan yang lupa saya bawa. ASU! sudah saya siapin semalaman, eh gak kebawa. Tapi sebenernya this is normal, karena saya memang tidak pernah lupa mengakrabi lupa. Bahkan, saya akan curiga ketika saya merasa tidak lupa melakukan atau membawa sesuatu. Ya sudahlah masih ada waktu, toh keretanya nanti sore. Nanti saya ambil bungkusannya pas jam istirahat.

Jam 12 siang, pas matahari kaya di ubun-ubun, saya pulang ke kosan, jalan kaki. Di tengah perjalanan saya sempat melihat Lucky Luke sedang menggoreng telor ceplok di atas batu. Setelah sepuluh menit terpanas itu akhirnya saya telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentosa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan …. Lho lho jadi UUD si hehehe… maksudnya saya sampai di depan pintu gerbang kosan saya. Habis mengusap peluh yang bercucuran di jidat, saya rogoh-rogoh saku celana, rogoh kanan, rogoh kiri, rogoh belakang, bahkan saya rogoh saku kemeja saya. Jidat yang habis saya usap pun berkeringat lagi. ASU!! kunci gerbang ketinggalan di tas, tas saya ada di kantor. Terpaksa sekali saya putar balik ke kantor lagi, melewati neraka jalanan Jakarta siang hari. Dan saya lihat Lucky Luke masih menggoreng telur ceploknya,kali ini untuk si Jolly Jumper, kudanya! Saking panasnya saya pun nggak sempat mikir emang kuda doyan telor ceplok.

Dengan kunci gerbang di tangan, saya gontai berjalan menuju kosan sekali lagi. Dan sekali lagi saya lewati Lucky Luke yang masih menggoreng telor, bahkan lebih banyak telor. Mungkin untuk Dalton bersaudara. Sampai di kosan, saya tidak berlama-lama, bungkusan yang tertinggal saya ambil, saya langsung balik lagi menuju kantor. Kali keempat saya lewat jalan kosan-kantor di siang ini saya tidak melihat lagi Lucky Luke sedang menggoreng telor. Tapi di tempat tadi Lucky Luke menggoreng telor sekarang ada kios kecil tulisannya “Telor Goreng Luke, 100% halal, menerima delivery, call: 081782LUKE”


Sepanjang perjalanan tadi, tidak terhitung berapa kali saya misuh. Ya sudah lah, yang penting bungkusan yang ketinggalan sudah saya ambil. Dan hari di kantor pun berjalan seperti biasa. Sampai pada jam pulang, saya langsung bergegas keluar kantor. Telpon NJ karena saya janjian berangkat bareng ke Semarang. Dan tak lupa mencegat ojek. Jam keberangkatan kereta cukup dekat dengan jam pulang kantor saya, makanya saya harus bergegas naik ojek biar nggak ketinggalan kereta dan nggak dimarahi NJ. Sukses dapet ojek, saya langsung nangkring di jok belakang “bang ikutin mobil itu!!! Eh anu, maksudnya ke stasiun Senen bang.” Di tengah abang ojeknya ngebut “waduh!!!”……… “Kenapa mas?”……. “nggak bang, nggak papa” *di dalam hati ASUUUU!!!! Bungkusan yang tadi siang ketinggalan di kantor.